Artikel yg Ringan,lucu.. namun byk Makna..,,^^
dakwatuna.com - Wah, ngomongin tentang cinta. Akhwat?! Jatuh cinta?! Emang bisa?!
Woi, woi, akhwat juga manusia, akhwat juga bisa jatuh cinta, seakhwatnya akhwat juga punya rasa cinta, benci, suka, dll.
Nih, salah satu contoh percakapan dua orang akhwat:
Nayla: “ras, mau nanya donk!”
Laras: “nanya apa?!“
Nayla: “tapi, kamu jawab yang jujur ya!”
Laras: “iya, emang apa?”
Nayla: “kamu pernah jatuh cinta ga?”
Laras  terdiam cukup lama. Sambil berjalan di gang yang tak begitu lebar,  Laras menanyakan pada dirinya sendiri: ”Pernahkah aku jatuh cinta?”
Nayla yang berjalan di depan Laras memperlambat langkah agar mereka bisa berjalan sejajar dan Nayla menunggu jawaban dari Laras.
Laras: “iya, pasti-lah pernah!” (bohong, jika ada yang mengatakan tidak pernah jatuh cinta, pikir Laras)
Nayla:  “sama ikhwan?! Baru-baru ini?! (Nayla hanya memastikan bahwa sahabatnya  itu pernah jatuh cinta dengan ikhwan; akhwat jatuh cinta sama ikhwan!)
Laras:  “emmm, mungkin lebih tepatnya kagum! Ya, kagum! Hanya sebatas itu.”  (Laras mengoreksi jawabannya. Laras pikir selama ini rasa itu hanya  sebatas rasa kagum, gak lebih)
Nayla: “yup! Lebih tepatnya kagum! Aku kira orang kayak kamu gak bisa jatuh cinta!”
Laras: “loh, kenapa kamu mikir kayak gitu?!”
Nayla:  “ya, akhwat kayak kamu itu kayaknya gak mungkin punya perasaan apa-apa  sama ikhwan, gak mungkin jatuh cinta. Kamu itu kalem, pendiem, berwibawa  banget. Ya gak mungkin-lah.”
Laras: “Tapi, nyatanya, aku bisa kagum juga kan sama ikhwan?! Itu mah fitrah kali!”
Yup!  Yang namanya kagum, apalagi kagum antar lawan jenis, hal itu mah  wajar-wajar aja. Yang gak wajar itu, kalo rasa kagum yang ada pada diri  kita malah membuat kita melakukan hal-hal yang gak sepantasnya dilakukan  (apaan tuh?!), apalagi oleh ikhwan akhwat loh. Berat euy sandangan  ikhwan akhwat itu. Yang ada di pikiran kebanyakan orang nih, yang  namanya ikhwan akhwat itu gak nganut yang namanya pacaran. Ikhwan akhwat  lebih nganut system ta’aruf sebelum nikah. Gaya pacaran ikhwan akhwat,  ya setelah mereka nikah nanti.
Nih, bukti kalo orang umumnya udah nganggap ikhwan akhwat gak nganut system pacaran.
Di  sela-sela praktikum ada sebuah kelompok yang isinya perempuan semuanya  bahkan asisten laboratoriumnya (aslab) juga perempuan. Saat menunggu  campuran di refluks, yang namanya perempuan kalo lagi gak ada kerjaan  pasti ngobrol-ngobrol. Nah, di saat-saat menunggu itulah, terjadi sebuah  obrolan di antara kelompok itu bersama aslab-nya. Dan yang diomongin  sama perempuan ya gak jauh dari laki-laki. Mereka membicarakan tentang  pacar mereka satu persatu. Di kelompok tersebut ada seorang akhwat. Nah,  ketika semuanya telah bergiliran menceritakan tentang pacarnya, tinggal  si akhwat inilah yang belum bercerita. Kemudian akhwat ini bertanya:  “Kok pada gak nanyain aku sih?”, dengan gaya sok lugunya.
Sang aslab-pun langsung spontan menjawab: “kalo kamu mah gak usah ditanyain, nanti juga tiba-tiba undangan nyampe di tanganku.”
Ya, itulah pandangan orang pada umumnya tentang ikhwan akhwat yang gak nganut system pacaran.
Lantas,  bagaimana sebenarnya kondisi interaksi ikhwan akhwat itu sendiri?!  Apakah seperti yang di duga kebanyakan orang pada umumnya?! Akankah  interaksi yang dilihat selama ini di luaran sama seperti yang aslinya?!
Banyak  orang yang memperhatikan bahwa ikhwan akhwat itu sangat menjaga dalam  berinteraksi. Namun terkadang, ikhwan akhwat juga bisa khilaf. Loh kok  khilaf?! Maksudnya apa?!
Ada hal-hal yang terkadang sulit  dilakukan ikhwan akhwat untuk menjaga interaksi itu. Misalnya nih, pada  saat praktikum, akan banyak kemungkinan bagi ikhwan akhwat untuk  bersentuhan. Eits, bersentuhan di sini bukan karena di sengaja loh, tapi  memang kondisi praktikum yang membuatnya bisa seperti itu. Interaksi  seperti ini mungkin masih bisa diwajarkan jika memang tidak bisa  dihindari lagi. Tapi kalo masih bisa dihindari, ya di minimalisir.
Ada  lagi misalnya, ketika ikhwan akhwat berkecimpung di sebuah organisasi.  Entah itu organisasi seperti BEM atau Mushalla sekalipun. Adakalanya  ketika berinteraksi di BEM misalnya, terkadang sulit untuk menundukkan  pandangan atau tidak bercanda secara berlebihan. Hal ini mungkin masih  bisa dimaklumi karena kondisinya yang cukup heterogen. Kalo kata  seseorang: “ya, jangan kaku-kaku amat!” Tapi, kalo kondisinya lebih  banyak orang yang paham akan batasan interaksi, apakah itu diwajarkan?!  Dijawab sendiri ya sama diri masing-masing.
Namun akhirnya bukan  pembenaran yang muncul dengan kondisi seperti itu. Ikhwan akhwat tetap  harus menjaga interaksi. Atau kalaupun akhirnya memang tidak bisa  dihindari untuk ‘mencair’, ya sudah lakukanlah interaksi itu sewajarnya.  Ikhwan akhwat aktivis dakwah biasanya punya system pengentalan  tersendiri. Tiap orang punya cara yang berbeda untuk ‘mengentalkan’  dirinya kembali.
Misalnya, Rama, seorang aktivis BEM, yang setiap  melakukan ‘pencairan’ dan dia tersadar bahwa dirinya telah melakukan hal  ‘pencairan’ tersebut, dia pun langsung ke sebuah ruangan, shalat dua  rakaat. Temannya, Beno, yang melihat hal itu terus menerus heran. Kenapa  heran?! Karena waktu itu bukan termasuk waktu Dhuha, lantas Rama itu  shalat apa? Dengan rasa penasaran Beno pun bertanya kepada Rama yang  baru selesai shalat.
“Akhi, ini kan bukan waktu Dhuha, dan tempat  ini juga bukan masjid, Antum shalat apa, dua rakaat? Dhuha bukan,  tahiyatul masjid juga bukan.”
“Akhi, sesungguhnya tadi kita telah  melakukan ‘pencairan’, maka Ana melakukan pengentalan diri Ana dengan  shalat sunnah dua rakaat. Agar diri ini tidak melakukan pembenaran atas  apa yang barusan kita lakukan.”
Ya, tiap orang punya mekanisme  pengentalan tersendiri. Ibarat suatu fluida, jika dia berada di tempat  yang sempit atau berada di suatu pipa yang diameternya kecil, maka untuk  dapat melewati itu, dia perlu mengurangi kekentalannya, sehingga fluida  itupun dapat mengalir dengan lancar. Namun jika memang fluida itu telah  berada di pipa dengan diameter yang lebih besar, maka kekentalannya  perlu dikembalikan seperti semula agar mengalirnya fluida itu tetap  konstan seperti aliran sebelumnya.
Bahkan, ikhwan akhwat yang  berkecimpung di Mushalla pun tak terlepas dari hal ini. Kadang, walaupun  interaksi di batasi dengan hijab pandangan, hijab hati belum tentu bisa  di jamin. Ingat dulu yuk, firman Allah: “Dia mengetahui apa yang ada di  langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa  yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati” (QS  64:4).
Ingat! Apa yang tersembunyi dalam hati kita, Allah juga  akan mengetahuinya. Bisa saja kelihatan dari luar, interaksi ikhwan  akhwat biasa-biasa saja, namun ternyata di balik hatinya atau di balik  hijab itu ada ‘sesuatu’ yang aneh dengan interaksi itu. Ya, semoga kita  bukan termasuk ke dalamnya. Kalaupun sudah terlanjur berbuat seperti itu  maka marilah kita sama-sama mengazamkan dalam diri untuk menjaga  interaksi itu.
Ada kasus juga ikhwan yang curhat ke akhwat ataupun  sebaliknya. Misalnya saling menganggap saudara sehingga dalam  berinteraksi ya layaknya saudara kandung. Memang betul sih, bahwa  persaudaraan yang dibangun ‘di sini’ atas dasar keimanan bukan pertalian  darah. Walaupun hanya menjadikan tempat curhat dan gak lebih dari  sekedar saudara, tapi sebaiknya tetap berhati-hati karena masalah hati  gak ada yang tau. Tetap saja, itu bukan mahramnya kalaupun toh mau  berakrab-akrab ria. Bisa aja hari ini curhat-curhatan, eh besoknya mulai  timbul ‘rasa’ yang berbeda. Curhat berduaan akan menimbulkan kedekatan,  lalu ikatan hati, kemudian dapat menimbulkan permainan hati yang bisa  menganggu dakwah. Apalagi bila yang dicurhatkan tidak ada sangkut  pautnya dengan dakwah. Atau bisa saja si ikhwan menganggap si akhwat  sebagai saudara biasa, tapi ternyata si akhwat malah punya pandangan  yang berbeda, begitupun sebaliknya. Yang lebih parah lagi nih, kalo  orang-orang yang belum paham melihat hal itu, bisa-bisa mereka jadi illfeel  sama ikhwan-akhwat. Atau terkadang, orang yang sudah paham pun malah  menanggap hal yang nggak-nggak terjadi di antara interaksi itu, VMJ  (Virus Merah Jambu), padahal mah tuh ikhwan dan tuh akhwat gak punya  perasaan apa-apa, cuma sebatas saudara atau teman biasa. Mungkin ada  benarnya juga kalo kita sebaiknya menjaga interaksi dengan lawan jenis,  gak hanya berlaku terhadap ikhwan akhwat aja loh. Lebih baik menjaga  bukan daripada terjadi fitnah?! Kalo mau curhat, ya utamakan sesama  jenis dulu.
Nah, ada satu cerita yang menarik di sini.
Ada  ikhwan, sebut saja Hendy yang curhat ke akhwat, sebut saja Mila, melalui  SMS. Mereka beraktivitas dalam satu organisasi dan keduanya bisa di  bilang aktivis dakwah.
Hendy: “Assalamu’alaikum. Mila, Ana merasa  bersalah banget neh sama masalah yang kemarin. Itu semua gara-gara Ana.  Ana tuh sampe gak bisa tidur mikirin masalah itu. Bawaannya  grasak-grusuk mlulu.”
Mila gak langsung membalas sms itu. Dia meng-sms Leo yang memang dekat dengan Hendy.
Mila: “Assalamu’alaikum. Leo, tolong hibur Hendy ya, kayaknya dia masih kepikiran sama masalah yang kemarin.”
Mila meminta Leo untuk menghibur Hendy karena Mila tau bahwa Leo adalah teman dekat Hendy dan Leo tau masalah yang Hendy hadapi.
Leo: “Masalah yang mana? Ana barusan mabit bareng Hendy, tapi dia ga cerita apa-apa.”
Mila: “Masalah yang itu bla, bla, bla.”
Mila menjelaskan masalahnya.
Leo: “Ok. Nanti Ana coba ngomong ke Hendy.”
Memang  begitulah seharusnya ketika ada seorang ikhwan ataupun akhwat yang  curhat ke lawan jenisnya, maka tempat yang di curhatin itu seharusnya  mengarahkan seseorang, ke sesama jenis, yang merupakan teman dekatnya  sehingga si ikhwan ataupun akhwat bisa di tangani langsung tanpa lintas  gender. Hal itu lebih menjaga bukan?!
Ada satu cerita lagi tentang  ikhwan akhwat yang jarang sekali berinteraksi, namun ternyata keduanya  sepertinya ‘klop’. Mereka menyadari hal itu. Si ikhwan punya perasaan  sama akhwat, begitupun sebaliknya: masing-masing saling tahu, tanpa  harus di nyatakan. Waktu terus berjalan, mereka pun saling memendam  perasaan itu hingga akhir bangku perkuliahan usai. Hingga akhirnya, ada  yang mengkhitbah si akhwat. Si akhwat pun meminta izin kepada si ikhwan  (aneh!): betapa sakit hati si ikhwan begitu mengetahui si akhwat akan di  khitbah ikhwan lain. Akhirnya, akhwat itu pun tetap melangsungkan  pernikahan dan membiarkan si ikhwan dalam kesakithatiannya.
Duh, miris sekali ya. Padahal perasaan yang muncul di antara ikhwan akhwat itu tanpa interaksi yang intens.
Ok,  yang terpenting adalah kita saling menasihati dengan cara yang terbaik.  Kalau ikhwan yang melampaui batas kepada akhwat, akhwatnya harus tegas,  demikian pula sebaliknya. Sesama ikhwan dan sesama akhwat juga harus  ada yang saling mengingatkan dengan tegas. Ingat! tegas bukan berarti  harus marah-marah karena kita tentunya tahu bahwa tak ada manusia yang  sempurna di dunia ini. Semua manusia tak luput dari yang namanya khilaf.  Jika memang mengaku bahwa kita bersaudara, maka ingatkanlah! Tegurlah!  Jangan biarkan saudara kita terjerembab.
Terkait dengan cinta,  sekali lagi diingatkan bahwa akhwat juga bisa jatuh cinta,, ikhwan juga  bisa jatuh cinta. Se-ikhwah-ikhwahnya ikhwah, mereka juga manusia yang  punya rasa cinta, kagum, suka, dan benci.
Cinta bukanlah tujuan
 Cinta adalah sarana untuk menggapai tujuan
 Jangan kau sibuk mencari definisi dan makna cinta
 Namun kau lalai terhadap Dzat yang menganugerahkan cinta
 Dzat yang menumbuhsuburkan rasa cinta
 Dzat yang memberikan kekuatan cinta
 Dzat yang paling layak dicintai Allah, Sang Pemilik Cinta
 Cinta memang tak kenal warna
 Cinta tak kenal baik buruk
 Cinta tak kenal rupa dan pertalian darah
 Memang begitulah adanya
 Karena yang mengenal baik buruk, warna dan rupa
 Adalah sang pelaku cinta yang menggunakan akal pikirannya
 Cinta bukanlah kata benda
 Cinta adalah kata kerja
 Cinta bukan sesuatu tanpa proses
 Cinta itu butuh proses
 Jangan mau kau terjatuh dalam cinta
 Namun, bangunlah cinta itu
 Bangunlah cinta dengan keimanan
 Maka kau akan mengorbankan apa saja
 Demi meraih keridhaan Sang Pemilik Cinta
 Bangunlah cinta dengan ketakwaan
 Maka kau tak kan gundah gulana
 Ketika kehilangan cinta duniawi
 Karna kau yakin Yang kau cari adalah cinta dan ridha Allah
 Bukan cinta yang sementara
***
Semoga  bermanfaat. Tulisan ini dibuat untuk mengingatkan diri sendiri yang  sering lalai dalam menjaga interaksi. Entah itu di dunia nyata maupun  dunia maya.
Saling mengingatkan ya!
*Kata ikhwan akhwat dalam tulisan ini telah mengalami penyempitan makna, lebih ke arah aktivis dakwah.

yah akhwat itu sperti perempuan biasa lainnya. cepat tersinggung tapi jg mudah tersanjung walaupn hny dberi perhatian kecil skalipun. utk itu kdg tdk jarang ada senior yg mgingatkan, akhwat itu kdg g ckp tegas, tp galak dn saklek jg perlu, walaupun g brmaksud mmbangun image dmikian.
BalasHapuscie pak tatang urusan juga sama hal bginian :p
BalasHapusall in all, semua itu hanya hukum kepantasan. kita hanya cukup memantaskan diri dahulu untuk mendapat apa yg kita azzamkan :)